1. Kampung Torosiaje
Kampung yang berada di atas permukaan laut ini terletak di sisi barat Gorontalo, salah satu kota di propinsi Sulawesi. Namanya berasal dari kata Toro (Tanjung) dan Siaje (Si Haji), yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai ‘Tanjung yang ditemukan oleh Seorang Haji’. Orang-orang yang tinggal di sana awalnya adalah suku Bajo, yang tinggal di rumah perahu dan berprofesi sebagai nelayan, lalu kemudian menetap di sana.
Di tahun 1980, 125 warga Torosiaje pernah dialihkan untuk tinggal di darat oleh Dinas Sosial, tapi banyak warga yang merasa tidak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk kembali hidup sebagai penangkap ikan di tengah laut. Kini, Kampung Torosiaje juga dihuni oleh suku-suku lain yang berasal dari Bugis, Jawa, Madura dan lain sebagainya. Tempat ini mulai disahkan oleh pemerintah sebagai Desa Wisata Bahari pada tahun 2007. Selain dilengkapi dengan dua fasiltias penginapan untuk turis, kampung ini juga memiliki bangunan taman kanak-kanak, SD dan SMP, serta masjid dan lapangan bulu tangkis.
2. Kampung Wadon
Sesuai dengan namanya, kampung ini hanya dihuni oleh kaum wadon alias wanita. Terletak di rimba Jati, kabupaten Ngawi, Jawa Timur, kampung ini terancam punah karena jumlah warganya semakin sedikit dan banyak juga yang memilih untuk pindah ke tempat lain. Terlebih lagi, kebanyakan wanita yang tinggal di sini rata-rata sudah berusia paruh baya dan lanjut.
Kepercayaan yang sudah berlangsung turun-temurun di kampung ini adalah, laki-laki yang sudah menikah dengan warga Kampung Wadon akan sengsara jika tidak segera pergi dari sana, sehingga pada akhirnya para laki-laki pun pindah tinggal di tempat lain. Meskipun kondisinya begitu, warga Kampung Wadon tetap hidup berdampingan dan damai. Kebanyakan dari mereka hidup dari penghasilan yang didapat dengan bercocok tanam di ladang
3. Desa Teletubbies
Nama desa yang aneh ini dikarenakan oleh rumah tinggal para warganya yang berbentuk kubah dan mrip dengan rumah milik para Teletubbies, karakter anak-anak yang sempat populer di tahun 90-an. Keberadaan rumah-rumah yang terletak di dusun Nglepen Sleman, Yogyakarta ini berawal dari bencana gempa di tahun 2006 yang membuat banyak warga kehilangan tempat tinggal. Hasil kerja sama pemerintah setempat dengan Domes for the World Founfation (DFTW) pun melahirkan kompleks desa yang memiliki sekitar 71 bangunan yang semuanya berbentuk kubah ini.
Karena keunikannya, desa ini juga menjadi salah satu tujuan wisata. Menariknya lagi, lokasi kampung ini tidak jauh dari kawasan candi-candi semacam Candi Ratu Boko dan Prambanan. Jika datang di hari libur, para wisatawan dapat berkeliling desa dengan menaiki kereta yang berbentuk kelinci dan berfoto dengan para badut yang memakai kostum Teletubbies.
4. Kampung Inggris Pare
Anggapan yang berkata bahwa “Orang Kampung tidak bisa bahasa Inggris” itu sudah kuno. Karena buktinya, di wilayah Pare yang terletak di Kediri, Jawa Timur ini, mayoritas masyarakatnya justru menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan mereka sehari-hari.
Ya, mereka adalah penghuni Kampung Inggris. Kampung yang menuai popularitas tidak hanya di dalam negeri ini, terkenal karena ada lebih dari 100 lembaga kursus bahasa Inggris yang berdiri di sana.
Cikal bakal kelahiran kampung Inggris ini tidak lepas dari campur tangan sosok bernama Mohammad Kalend Olsen yang biasa disapa dengan sebutan Mr. Kalend. Ia adalah pendiri tempat kursus pertama di Pare yang bernama BEC (Basic English Course) pada tahun 1985. Dengan beragam pilihan fasilitas kursus, biaya hidup yang termasuk murah dan angka peminat yang cukup besar, Kampung Inggris Pare pun semakin berkembang. Kini di sana juga tersedia pilihan kursus bahasa lain semacam Arab dan Korea guna menunjang potensi ekonomi kampung tersebut.
5. Kampung Cyber Taman Sari, Yogyakarta
Anda tidak perlu merisaukan, tentang kebutuhan koneksi internet anda jika berada di kampung ini. Kampung Cyber yang terletak di RT 36 ini diresmikan oleh pemerintah setempat pada tahun 2009 sebagai salah satu obyek wisata di Yogyakarta. Awalnya memang sulit untuk meyakinkan warga untuk memasang internet dirumah mereka, tapi kini hampir semua warganya cukup sadar teknologi dan mereka juga memusatkan kegiatan publik dan bisnis di situs resmi yang bernama [url=http://www.rt36kampoengcyber.com.]www.rt36kampoengcyber.com.[/url]
Keunikan Kampung Cyber tidak hanya mengusik rasa penasaran turis domestik, karena buktinya pendiri situs Facebook, Mark Zuckerberg, tercatat juga pernah berkunjung ke kampung ini. Meskipun lekat dengan kesan modern, Kampung Cyber tetap menjaga sisi tradisional mereka dengan hiasan gambar mural di tembok-tembok kampung yang menonjolkan seni jawa. Mata pencaharian sebagian besar warganya juga merupakan pengrajin tradisional.
Kampung yang berada di atas permukaan laut ini terletak di sisi barat Gorontalo, salah satu kota di propinsi Sulawesi. Namanya berasal dari kata Toro (Tanjung) dan Siaje (Si Haji), yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai ‘Tanjung yang ditemukan oleh Seorang Haji’. Orang-orang yang tinggal di sana awalnya adalah suku Bajo, yang tinggal di rumah perahu dan berprofesi sebagai nelayan, lalu kemudian menetap di sana.
Di tahun 1980, 125 warga Torosiaje pernah dialihkan untuk tinggal di darat oleh Dinas Sosial, tapi banyak warga yang merasa tidak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk kembali hidup sebagai penangkap ikan di tengah laut. Kini, Kampung Torosiaje juga dihuni oleh suku-suku lain yang berasal dari Bugis, Jawa, Madura dan lain sebagainya. Tempat ini mulai disahkan oleh pemerintah sebagai Desa Wisata Bahari pada tahun 2007. Selain dilengkapi dengan dua fasiltias penginapan untuk turis, kampung ini juga memiliki bangunan taman kanak-kanak, SD dan SMP, serta masjid dan lapangan bulu tangkis.
2. Kampung Wadon
Sesuai dengan namanya, kampung ini hanya dihuni oleh kaum wadon alias wanita. Terletak di rimba Jati, kabupaten Ngawi, Jawa Timur, kampung ini terancam punah karena jumlah warganya semakin sedikit dan banyak juga yang memilih untuk pindah ke tempat lain. Terlebih lagi, kebanyakan wanita yang tinggal di sini rata-rata sudah berusia paruh baya dan lanjut.
Kepercayaan yang sudah berlangsung turun-temurun di kampung ini adalah, laki-laki yang sudah menikah dengan warga Kampung Wadon akan sengsara jika tidak segera pergi dari sana, sehingga pada akhirnya para laki-laki pun pindah tinggal di tempat lain. Meskipun kondisinya begitu, warga Kampung Wadon tetap hidup berdampingan dan damai. Kebanyakan dari mereka hidup dari penghasilan yang didapat dengan bercocok tanam di ladang
3. Desa Teletubbies
Nama desa yang aneh ini dikarenakan oleh rumah tinggal para warganya yang berbentuk kubah dan mrip dengan rumah milik para Teletubbies, karakter anak-anak yang sempat populer di tahun 90-an. Keberadaan rumah-rumah yang terletak di dusun Nglepen Sleman, Yogyakarta ini berawal dari bencana gempa di tahun 2006 yang membuat banyak warga kehilangan tempat tinggal. Hasil kerja sama pemerintah setempat dengan Domes for the World Founfation (DFTW) pun melahirkan kompleks desa yang memiliki sekitar 71 bangunan yang semuanya berbentuk kubah ini.
Karena keunikannya, desa ini juga menjadi salah satu tujuan wisata. Menariknya lagi, lokasi kampung ini tidak jauh dari kawasan candi-candi semacam Candi Ratu Boko dan Prambanan. Jika datang di hari libur, para wisatawan dapat berkeliling desa dengan menaiki kereta yang berbentuk kelinci dan berfoto dengan para badut yang memakai kostum Teletubbies.
4. Kampung Inggris Pare
Anggapan yang berkata bahwa “Orang Kampung tidak bisa bahasa Inggris” itu sudah kuno. Karena buktinya, di wilayah Pare yang terletak di Kediri, Jawa Timur ini, mayoritas masyarakatnya justru menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan mereka sehari-hari.
Ya, mereka adalah penghuni Kampung Inggris. Kampung yang menuai popularitas tidak hanya di dalam negeri ini, terkenal karena ada lebih dari 100 lembaga kursus bahasa Inggris yang berdiri di sana.
Cikal bakal kelahiran kampung Inggris ini tidak lepas dari campur tangan sosok bernama Mohammad Kalend Olsen yang biasa disapa dengan sebutan Mr. Kalend. Ia adalah pendiri tempat kursus pertama di Pare yang bernama BEC (Basic English Course) pada tahun 1985. Dengan beragam pilihan fasilitas kursus, biaya hidup yang termasuk murah dan angka peminat yang cukup besar, Kampung Inggris Pare pun semakin berkembang. Kini di sana juga tersedia pilihan kursus bahasa lain semacam Arab dan Korea guna menunjang potensi ekonomi kampung tersebut.
5. Kampung Cyber Taman Sari, Yogyakarta
Anda tidak perlu merisaukan, tentang kebutuhan koneksi internet anda jika berada di kampung ini. Kampung Cyber yang terletak di RT 36 ini diresmikan oleh pemerintah setempat pada tahun 2009 sebagai salah satu obyek wisata di Yogyakarta. Awalnya memang sulit untuk meyakinkan warga untuk memasang internet dirumah mereka, tapi kini hampir semua warganya cukup sadar teknologi dan mereka juga memusatkan kegiatan publik dan bisnis di situs resmi yang bernama [url=http://www.rt36kampoengcyber.com.]www.rt36kampoengcyber.com.[/url]
Keunikan Kampung Cyber tidak hanya mengusik rasa penasaran turis domestik, karena buktinya pendiri situs Facebook, Mark Zuckerberg, tercatat juga pernah berkunjung ke kampung ini. Meskipun lekat dengan kesan modern, Kampung Cyber tetap menjaga sisi tradisional mereka dengan hiasan gambar mural di tembok-tembok kampung yang menonjolkan seni jawa. Mata pencaharian sebagian besar warganya juga merupakan pengrajin tradisional.
Mau di kota ataupun di kampung, masyarakat tetap bisa maju dan berkembang selama punya tekad dan kemauan yang kuat. Jadi, jangan keburu memandang orang-orang yang berasal dari kampung dengan sebelah mata, hormatilah mereka sebagai sesama manusia yang hidup selaras dan berdampingan baca juga: FILM LUAR NEGERI YANG DI BUAT DI INDONESIASumur
No comments:
Write komentar